Dua Cara Bertaubat Yang Benar
Menjadi manusia sempurna tanpa dosa atau kesalahan sedikitpun tentu sangat mustahil. Bahkan dalam sebuah kata bijak disebutkan, “Manusia adalah tempat yang salah dan berdosa”.
Sebuah kalimat sederhana, namun menyimpan banyak makna di dalamnya. Dengan ungkapan ini, manusia tidak memiliki alasan untuk sombong dan merasa lebih baik dari orang lain, karena baik diri sendiri maupun orang lain telah melakukan dosa.
Manusia dengan segala keterbatasan dan kekurangannya selalu diliputi oleh kemungkinan berbuat dosa, baik disengaja maupun tidak.
Apalagi jika nafsu telah menguasai jiwanya. Dia akan menjadi mainan yang sangat mudah untuk diajak melakukan kesalahan dan kemaksiatan.
Padahal, dalam kondisi itu, ketaatan seolah tidak ada nilainya sama sekali dalam hidupnya.
Namun, meskipun manusia tidak dapat lepas dari dosa, atau bahkan dosa-dosanya menumpuk, bukan berarti tidak ada cara untuk memperbaiki diri. Sebab, seberat dan segunung dosa seorang hamba, pintu rahmat Allah selalu terbuka.
Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk memperbaiki diri, yaitu dengan bertaubat dari perbuatan yang membawa akibat dosa.
Secara etimologis, pertobatan berarti kembali. Sedangkan secara terminologi, taubat berarti menyerahkan pekerjaan yang hina kepada pekerjaan yang mulia. Atau jika disederhanakan seperti yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali yaitu mensucikan hati dari dosa.
Taubat menjadi sangat penting untuk dilakukan, karena dengannya, seseorang dapat membersihkan hati dari dosa-dosa yang mengotorinya. Dalam sebuah hadits, Nabi bersabda:
Artinya, “Semua anak Adam (manusia) melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat” (HR At-Tirmidzi).
2 Cara Bertaubat Dari Segala Dosa
Cara Taubat Syekh Ibn ‘Athaillah as-Sakandari dalam kitab Tajul Arus menjelaskan dua cara taubat yang dapat ditempuh oleh seorang hamba, yaitu:
1. Al-Muhasabah (introspeksi) Artinya, orang yang ingin bertaubat tidak boleh dipisahkan dari introspeksi.
Caranya, selalu berpikir sepanjang hidupnya, jika pagi datang, maka pikirkan apa yang akan dia lakukan di malam hari.
Jika Anda menemukan pekerjaan yang taat, maka bersyukurlah kepada Allah, dan jika Anda menemukan pekerjaan yang berdosa, maka mintalah pengampunan dari-Nya dan segera bertobat. Tidak cukup dengan itu, dia harus mencela dirinya sendiri atas ketidaktaatan yang dia lakukan. Sebab, tidak ada cara bertobat yang paling efektif selain mengkritik diri sendiri ketika melakukan kesalahan.
Jika tips ini dilakukan, maka Allah akan memberikan kemuliaan, seperti yang disampaikan oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah, yaitu: ganti kesedihan dengan kebahagiaan, kehinaan dengan kemuliaan, kegelapan dengan cahaya, dan kondisi terhalang (dari Allah) dengan keterbukaan (mengenal Allah)” (Syekh Ibn ‘Athaillah as-Sakandari, Farhatun Nufus bi Syarhi Tajul Arus.
Tidak cukup, seorang hamba harus merasa selalu dalam pengawasan Allah. Dengan itu, tidak akan melakukan pekerjaan yang berakhir dengan dosa, bahkan tidak melakukan pekerjaan dengan tujuan selain Allah.
Dosa pada manusia adalah penyebab kegelapan hati yang selalu membekas. Ketidaktaatan itu seperti api, sedangkan dosa adalah asapnya.
Jika asap api mengenai rumah, betapapun indahnya rumah itu, akan tidak sedap dipandang dan tidak nyaman untuk ditinggali. Begitu juga dengan manusia.
Sebersih apapun ia dari kesalahan, Jika dia telah melakukan dosa, dan dosa adalah akibatnya. Maka Allah tidak akan ridha kepadanya, sehingga dia semakin jauh dari Allah.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain selain membersihkan dosa pada manusia kecuali dengan bertaubat.
2. Al-Ittiba’ (mengikuti Rasulullah) Artinya, orang yang ingin bertaubat harus tunduk mengikuti Rasulullah dalam segala tindakannya, seperti bekerja, berbicara, dan beribadah.
Apalah artinya menjadi umat Nabi Muhammad jika semua pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi? Seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat selama dia taat dan mengikuti jejak Nabi dalam kehidupan sehari-harinya.
Mengikuti langkah-langkah yang dipraktekkan Rasulullah, menunjukkan sebagai upaya untuk menjadi bagian dari itu. Mencoba menjadi bagian dari Rasulullah berarti berusaha untuk
Mengikuti jejak Nabi, menunjukkan sebagai upaya untuk menjadi bagian darinya. Mencoba menjadi bagian dari Rasulullah berarti berusaha mendekatkan diri kepada Allah .
Begitu pula sebaliknya, tidak mengikuti Rasulullah berarti tidak ingin menjadi bagian dari dirinya, dan tentunya juga ingin menjauhi Allah. Naudzubillah.
Baca: tata cara shalat taubat
Penjelasan tersebut mengingatkan kita pada sebuah kisah yang terjadi beberapa abad yang lalu, tepatnya pada saat peristiwa perang Khandaq, yaitu pengakuan Nabi kepada para sahabat Salman al-Farisi yang dinyatakan sebagai keluarganya. Dalam haditsnya, Nabi dengan jelas mengatakan:
Artinya, “Salman adalah bagian dari kita, sebagai sebuah keluarga.
Sebagaimana diketahui, para sahabat Salman bukanlah keturunan Nabi, bahkan tidak termasuk suku Quraisy. Ia hanyalah seorang pendatang dari kota Persia untuk masuk Islam.
Namun, sikap patuh dan mengikuti semua perilaku Nabi menjadikan Persia bagian dari dirinya, bahkan dianggap sebagai keluarganya.
Jika ketaatan dalam mengikuti langkah-langkah Rasulullah dapat dianggap sebagai bagian darinya, tentu saja mereka yang tidak mengikutinya tidak dapat dianggap sebagai bagian darinya.
Baca juga: penyebab mandi wajib
Hal ini tergambar jelas dalam kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, ketika ia menganggap putranya sebagai bagian dari dirinya.
Kedua peristiwa di atas menjadi bukti bahwa tidak ada jalan yang lebih baik untuk mendapatkan ampunan dari Allah ketika bertaubat selain mengikuti jejak Rasulullah. Bahkan Allah telah menjanjikan ampunan bagi orang yang taat. Rasul-Nya sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.